Karena sebelumnya pernah menulis banyak veri cerita cinta-cintaan ala remaja, sekarang saya mau nyoba nulis cerpen fiksi cinta dengan tema yang berbeda. Semoga tetap menarik untuk dibaca, dan bisa diambil pesan-pesan yang terselip di dalamnya. Selamat membaca :)
#1 Kerja Sepenuh Hari
[prolog]
Seorang Ayah yang terlalu mencintai pekerjaannya, selalu mengajar untuk anak orang lain, tapi tanpa sadar, menghiraukan perkembangan anaknya sendiri.
"Mau kemana, pa?" tanya Ibu.
"Ini mau ngelesin Matematika, ada beberapa murid minta les tambahan di salah satu rumah mereka." jawab sang Ayah sambil sibuk mempersiapkan motor untuk pergi.
"Ngurusin anak orang lain melulu, ngurus anak sendiri kapan?" bilang Ibu, judes.
"Lho, kan, ada kamu."
"Papa tau nggak berapa nilai ulangan Matematikanya di Rinto?"
"Tau." Ayah terdiam sejenak.
"Terus?"
"Mama bisa mulai jam belajarnya, kasih soal tambahan, kasih ...."
"Yang Rinto butuhin itu bukan tambahan soal atau tambahan belajar." potong Ibu. "Yang Rinto butuhin itu kamu. Bapaknya."
Seketika muncul keheningan di antara mereka berdua.
Seketika muncul keheningan di antara mereka berdua.
"Rinto lebih nyaman belajar sama kamu." tambah Ibu, mencoba memecah jeda yang ada.
Ayah tak membalas kata-kata Ibu.
Ia hanya menghela nafas dengan berat. Tanpa menengok, ia lalu membuka pagar rumahnya, dan mendorong motornya keluar.
Ia hanya menghela nafas dengan berat. Tanpa menengok, ia lalu membuka pagar rumahnya, dan mendorong motornya keluar.
"Papa berangkat dulu. Assalamu'alaikum." Ayah mengendarai motornya menjauhi rumah menuju ke rumah muridnya.
"Wa'alaikumussalam." jawab Ibu, lalu menutup pagar rumahintu rumah, berharap suaminya sadar suatu waktu nanti.
***
"Oke, coba mari kita koreksi." ucap Ayah, yang sekarang menjadi Pak Guru bagi murid-muridnya. "Soal nomor 1, jawabannya berapa?"
"33!" jawab serempak oleh para murid.
"Betul! Sudah pada mengerti berarti, ya. Soal nomor 2?"
"74!" masih dijawab serempak oleh para murid.
"Benar! Kalo soal nomor 3?"
"98!" jawab satu murid.
"Kok 98? 49 kali." murid yang lain menimpali.
"Bukan, yang bener itu 98!" murid-murid mulai bersitegang, mencoba mempertahankan jawabannya masing-masing.
"Sudah, sudah." Pak guru dengan sigap memotong. "Berarti ada yang belum mengerti, coba kita bahas dulu ya. Rumus segitiga kan, alas kali tinggi bagi 2. Coba alasnya berapa?"
Salah satu murid membalas, "7, pak guru."
"Terus tingginya 14. Jadi 14x7= 98." kata Pak guru.
"Tuh, kan bener." teriak salah satu murid, bangga.
"Eits, tunggu dulu. Kan belum dibagi." Pak guru memotong. "98 dibagi 2 terlebih dahulu, baru ketemu jawabannya 49. Kamu udah betul 98 nya, tapi masih belum dibagi."
"Oh, iya, ya, hehehehehe." ia menggaruk-garuk kepalanya sambil tersipu malu.
Pak guru lalu berkata, "Ya sudah, silakan dibenarkan dulu."
Menunggu muridnya membenarkan jawabannya, beliau bertanya kepada murid yang punya rumah, "Kamu di rumah sama siapa aja?"
Menunggu muridnya membenarkan jawabannya, beliau bertanya kepada murid yang punya rumah, "Kamu di rumah sama siapa aja?"
"Sama Bapak, Ibu, terus sama Kakak." jawab si murid.
"Tapi, kok rumahmu sepi sekali?"
"Iya, soalnya Ibu kerja sampe malem, terus Bapak kerjanya sampe ke luar kota. Jadi jarang di rumah." bilangnya dengan raut muka sedikit sendu.
Seketika Pak guru Matematika ini lalu teringat dengan kondisinya sendiri di rumah.
"Terus kamu kalo belajar gitu sama siapa?" tanya beliau.
"Kadang sama Kakak. Tapi Kakak sekarang lagi sibuk kuliah, jadi belajar sendiri deh. Makanya ini aku dikasih les tambahan sama Pak guru, biar nggak ketinggalan pelajarannya."
Kata-kata muridnya barusan menambah kuat ingatan Pak guru tentang rumah, terutama tentang anaknya, Rinto. Yang seringnya, ia lupakan karena terlalu sibuk bekerja. Ironisnya, ia bahkan lebih condong "dekat" dengan anak orang lain, daripada dengan anaknya sendiri.
Kenyataan ini menampar keras benak Pak Guru.
"Pak guru..." salah satu murid menyela, menghamburkan pikirannya pada rumah dan anaknya. "Sudah selesai saya koreksi, pak."
"Oh, o-oke. Kalo begitu, kita bahas soal selanjutnya."
Sore berlanjut dengan ilmu yang terus bertambah. Matematika untuk para murid, dan keluarga untuk Pak Guru.
***
Matahari terbenam, kilau sinarnya tak tampak sejauh mata memandang. Bulan pun beralih mengisi langit di antara bintang-bintang. Pada saat ini, sudah menjadi jadwal rutin Rinto untuk belajar di rumah. .
"Ayo, Rinto, waktunya belajar." ajak Ibu, memanggil dari ruang tengah
"Iya, Ma." jawab Rinto, berdiri dari kursi di kamarnya. Ia lalu bersiap mengambil alat tulis dari dalam tasnya.
"Ada PR, nggak?" tanya Ibu.
"Ada bu." kata Rinto, lalu ia berkata dengan tidak semangat. "Matematika...."
"Ayo, Rinto, waktunya belajar." ajak Ibu, memanggil dari ruang tengah
"Iya, Ma." jawab Rinto, berdiri dari kursi di kamarnya. Ia lalu bersiap mengambil alat tulis dari dalam tasnya.
"Ada PR, nggak?" tanya Ibu.
"Ada bu." kata Rinto, lalu ia berkata dengan tidak semangat. "Matematika...."
Ibu menyadari perubahan suara Rinto, mencoba menenangkannya, "Ya sudah, sini yuk. Mari kita kerjain bareng."
Rinto kemudian membawa PR dan alat tulisnya mendekati Ibu.
Beberapa selang kemudian, terdengar suara motor tua. Suaranya agak kasar dan tak beraturan. Mendengarnya saja sudah terbayang berapa banyak kebulan asap yang keluar dari knalpotnya. Meskipun begitu, suara ini sudah menjadi ciri khas dan penanda kalo Ayah sudah sampai di depan rumah.
"Assalamu'alaikum." salam Ayah, membuka pintu rumah.
"Wa'alaikumussalam." jawab Ibu dan Rinto di ruang tengah, masih sibuk mengerjakan PR Matematika.
Ibu lalu berdiri dan bilang, "Papa mau teh anget?"
"Boleh."
Ayah melihat Ibu berjalan menuju dapur, meninggalkan Rinto berkumpul dengan buku yang berserakan. Dia lalu mendekati anaknya, merangkul bahunya, dan duduk di sebelahnya. "Kamu lagi ngerjain apa?" tanyanya.
"Ngerjain PR Matematika, Pa." jawab sang anak, tak semangat. "Susah."
"Masa, sih, susah? Coba Papa liat mana yang susah." ucap Ayah.
"Yang ini." tunjuk Rinto pada suatu gambar bangun datar. "Yang disuruh cari luas segitiga."
"Oh, yang itu. Coba sini Papa bantu."
Ia lalu menatap langsung anaknya, dan bilang dengan perlahan. "Kamu tau rumus segitiga?"
"Tau. Alas x tinggi, kan?" jawab Rinto.
"Itu betul, tapi masih belum sepenuhnya benar."
"Maksudnya?" tanyanya, bingung.
"Lebih tepatnya itu..... Alas x tinggi bagi 2."
"Ooh, ada bagi duanya?"
"Yap, betul." Ayah mengangguk. "Kamu bisa kalikan dulu, lalu dibagi 2 atau kamu bisa bagi 2 salah satu angkanya dulu, baru dikalikan. Tinggal pilih, mana yang menurut kamu lebih mudah. Sekarang coba kamu kerjakan."
"Iya, pa." Rinto mengerjakan soal barusan. Dia memutuskan membagi 2 dulu, karena ia rasa lebih mudah begitu.
Tak lama kemudian, Rinto memberikan soal jawabannya, "Ini bener nggak, Pa?"
"Wah, cepat sekali." Ayah mengambil kertas Rinto, lalu memeriksanya.
"Jawabanmu sudah benar, Rinto."
"Udah bener?"
"Iya, sudah tepat sekali."
Ekspresi Rinto berubah perlahan, sendu yang sebelumnya tertanam, hilang digantikan senyuman kecil yang cerah.
Kemudian, Ibu datang membawa secangkir teh hangat untuk Ayah, "Ini Pa."
"Makasih, ya, Ma." tangannya meraih teh hangat tersebut, dan menyeruput sedikit demi sedikit. "Enak. Manisnya pas."
"Ma...." potong Rinto. "Barusan aku udah bisa ngerjain soal luas segitiganya. Ternyata gampang banget, Ma."
"Wah, hebatnya!" jawab Ibu, sumringah. "Ya udah dilanjutkan lagi ngerjainnya."
"Oke Ma!" Rinto lalu membaca soal berikutnya, siap mengerjakan dengan lebih semangat.
Ayah dan Ibu saling menengok, lalu menatap dalam-dalam. Seketika, Ayah mengangguk pelan ke arah Ibu, kemudian merangkul anaknya sambil melihat soal berikutnya. Ibu membalas anggukan tadi dengan senyum simpul dan rasa tenang yang hangat di dalam. Akhirnya, salah satu doanya sudah terwujud.
Rinto kemudian membawa PR dan alat tulisnya mendekati Ibu.
Beberapa selang kemudian, terdengar suara motor tua. Suaranya agak kasar dan tak beraturan. Mendengarnya saja sudah terbayang berapa banyak kebulan asap yang keluar dari knalpotnya. Meskipun begitu, suara ini sudah menjadi ciri khas dan penanda kalo Ayah sudah sampai di depan rumah.
"Assalamu'alaikum." salam Ayah, membuka pintu rumah.
"Wa'alaikumussalam." jawab Ibu dan Rinto di ruang tengah, masih sibuk mengerjakan PR Matematika.
Ibu lalu berdiri dan bilang, "Papa mau teh anget?"
"Boleh."
Ayah melihat Ibu berjalan menuju dapur, meninggalkan Rinto berkumpul dengan buku yang berserakan. Dia lalu mendekati anaknya, merangkul bahunya, dan duduk di sebelahnya. "Kamu lagi ngerjain apa?" tanyanya.
"Ngerjain PR Matematika, Pa." jawab sang anak, tak semangat. "Susah."
"Masa, sih, susah? Coba Papa liat mana yang susah." ucap Ayah.
"Yang ini." tunjuk Rinto pada suatu gambar bangun datar. "Yang disuruh cari luas segitiga."
"Oh, yang itu. Coba sini Papa bantu."
Ia lalu menatap langsung anaknya, dan bilang dengan perlahan. "Kamu tau rumus segitiga?"
"Tau. Alas x tinggi, kan?" jawab Rinto.
"Itu betul, tapi masih belum sepenuhnya benar."
"Maksudnya?" tanyanya, bingung.
"Lebih tepatnya itu..... Alas x tinggi bagi 2."
"Ooh, ada bagi duanya?"
"Yap, betul." Ayah mengangguk. "Kamu bisa kalikan dulu, lalu dibagi 2 atau kamu bisa bagi 2 salah satu angkanya dulu, baru dikalikan. Tinggal pilih, mana yang menurut kamu lebih mudah. Sekarang coba kamu kerjakan."
"Iya, pa." Rinto mengerjakan soal barusan. Dia memutuskan membagi 2 dulu, karena ia rasa lebih mudah begitu.
Tak lama kemudian, Rinto memberikan soal jawabannya, "Ini bener nggak, Pa?"
"Wah, cepat sekali." Ayah mengambil kertas Rinto, lalu memeriksanya.
"Jawabanmu sudah benar, Rinto."
"Udah bener?"
"Iya, sudah tepat sekali."
Ekspresi Rinto berubah perlahan, sendu yang sebelumnya tertanam, hilang digantikan senyuman kecil yang cerah.
Kemudian, Ibu datang membawa secangkir teh hangat untuk Ayah, "Ini Pa."
"Makasih, ya, Ma." tangannya meraih teh hangat tersebut, dan menyeruput sedikit demi sedikit. "Enak. Manisnya pas."
"Ma...." potong Rinto. "Barusan aku udah bisa ngerjain soal luas segitiganya. Ternyata gampang banget, Ma."
"Wah, hebatnya!" jawab Ibu, sumringah. "Ya udah dilanjutkan lagi ngerjainnya."
"Oke Ma!" Rinto lalu membaca soal berikutnya, siap mengerjakan dengan lebih semangat.
Ayah dan Ibu saling menengok, lalu menatap dalam-dalam. Seketika, Ayah mengangguk pelan ke arah Ibu, kemudian merangkul anaknya sambil melihat soal berikutnya. Ibu membalas anggukan tadi dengan senyum simpul dan rasa tenang yang hangat di dalam. Akhirnya, salah satu doanya sudah terwujud.
#2 Superhero Aktif Kreatif
[prolog]
Seorang anak yang suka superhero, setiap hari menggambar tokoh superhero favoritnya. Tapi, suatu hari, orang tuanya melarang ia menggambar superhero lagi karena menganggap itu bukan ciri anak yang pintar.
Umumnya, orang setelah bangun tidur itu mengecek handphone atau langsung ke kamar mandi karena kebelet, tapi tidak dengan Tony. Ia malah mengambil pensil dan buku gambar, mencoret-coret lembaran kosong dengan muka masih merah mengantuk.
"Karakter ini namanya Ice Kids."
"Anak kecil yang kena energi kuantum saat lagi buka kulkas di rumahnya." tambahnya.
"Kalo yang ini Target." Tony melanjutkan. "Anak yang punya kekuatan nembak ketapel selalu tepat sasaran."
Ini adalah keseharian rutin tiap pagi bagi Tony. Menuangkan mimpi yang tersirat, agar tidak cuma numpang lewat. Untuknya, mimpi memberinya segudang ide. Karakter baru, pemandangan baru, kekuatan baru.
Sesudahnya, ia menaruh buku gambar tempatnya menaruh dunia ciptaannya. Lalu, ia pergi ke kamar mandi dan bersiap untuk ibadah.
Tony melangkah dengan senyum ringan karena idenya sudah tertanam rapi di bukunya, tapi tidak dengan ibunya. Ibunya melihat buku gambar anaknya dengan sinis, masih tidak mengerti kenapa anaknya suka menggambar.
Sesudahnya, ia menaruh buku gambar tempatnya menaruh dunia ciptaannya. Lalu, ia pergi ke kamar mandi dan bersiap untuk ibadah.
Tony melangkah dengan senyum ringan karena idenya sudah tertanam rapi di bukunya, tapi tidak dengan ibunya. Ibunya melihat buku gambar anaknya dengan sinis, masih tidak mengerti kenapa anaknya suka menggambar.
***
"Papa udah bilang ke Tony?" tanya Ibu, sambil mengunyah sarapannya.
"Bilang apa?"
"Itu, bentar lagi kan mau ujian sekolah. Tony harus fokus belajar."
"Oh, itu." Ayah berhenti sejenak untuk menyeruput kopi hitamnya di meja. "Nanti sore setelah Papa pulang kerja, pasti papa ingetin."
Ibu mengambil sesendok nasi gorengnya, sebelum bersiap untuk menyantapnya, ia berkata lagi, "Bagus, deh, kalo gitu. Terus soal gambarnya gimana?"
"Kenapa emang gambarnya?"
Ibu melahap sesuap nasi goreng buatannya, kemudian menjawab, "Gambarnya juga harus dikondisikan. Gimana mau fokus ujian, kalo masih suka gambar?"
Ayah menghela napas.
"Kayaknya, nggak ada yang salah kalo Tony masih suka menggambar. Toh, dia masih bisa belajar seperti biasa, kan. Gambar nggak pernah ganggu kegiatan belajar dia, kok."
"Yakin?" Tanya Ibunya dengan tatapan tajam. "Tapi bisa aja, kan?"
Ibu menambahkan, "Ada kemungkinan gambar bisa mengganggu dia fokus. Bikin pikirannya kepecah. Lagipula gambar juga nggak bakalan bikin dia kemana-mana."
"Cuma kemungkinan, kan." potong Ayah.
"Tapi kemungkinan mengandung resiko, Pa. Kalo nilai dia jelek gimana? Kalo dia nggak lulus gimana?"
"Kalo misalkan dia tetep gambar, dan Tony tetep lulus dengan nilai bagus, gimana? Kita kan harus liat dari dua sisi juga." tambah Ayah, sekali lagi.
Ayah lalu menunjuk ke arah lemari di sebelah kanannya. Di meja bundar tempat mereka berada, terdapat lemari kaca di dekatnya. Tempat piala Tony terpajang. Terisi penuh dari rak paling atas sampai bawah. Ada yang juara satu, dua, bahkan tiga.
"Kamu liat itu?" Bilang Ayah. "Itu hasil dari kesukaan anak kamu, lho."
"Hasil dari dia menuangkan kesukaannya yang diseriusin."
"Buat Tony, gambar udah bagian dari hidupnya." jelas Ayah.
"Cuma kemungkinan, kan." potong Ayah.
"Tapi kemungkinan mengandung resiko, Pa. Kalo nilai dia jelek gimana? Kalo dia nggak lulus gimana?"
"Kalo misalkan dia tetep gambar, dan Tony tetep lulus dengan nilai bagus, gimana? Kita kan harus liat dari dua sisi juga." tambah Ayah, sekali lagi.
Ayah lalu menunjuk ke arah lemari di sebelah kanannya. Di meja bundar tempat mereka berada, terdapat lemari kaca di dekatnya. Tempat piala Tony terpajang. Terisi penuh dari rak paling atas sampai bawah. Ada yang juara satu, dua, bahkan tiga.
"Kamu liat itu?" Bilang Ayah. "Itu hasil dari kesukaan anak kamu, lho."
"Hasil dari dia menuangkan kesukaannya yang diseriusin."
"Buat Tony, gambar udah bagian dari hidupnya." jelas Ayah.
Ibu menyelesaikan sarapannya, lalu mendorong piringnya ke tengah meja dengan pelan. "Tapi piala-piala itu nggak bisa bikin nilai Matematikanya bagus. Nggak bisa bikin dia lulus ujian. Itu cuma hobi. Cuma maen-maen. Ujian bukan sesuatu yang bisa dilalui dengan maen-maen."
Ayah lalu mendorong kursinya ke belakang, meninggalkan kopinya yang masih terisi setengah gelas. Ia tak mengeluarkan kata-kata balasan untuk ucapan istrinya.
"Lho kenapa, Ma???" teriak Tony.
"Kamu baru baru boleh ngelanjutin gambar kalo ujian sekolah udah selesai." jawab Ibunya, tegas.
"Emang kenapa sama gambaranku?"
Ibu menjawab, "Nggak ada yang salah sama gambaranmu. Hanya sekarang bukan saat yang tepat buat ngegambar."
Tony lalu memeluk bukunya. "Nggak mau, Ma. Gambaran ini penting buat aku."
"Sudah, sini mana bukunya!" Ibu lalu mencoba meraih buku tersebut. "Sekarang itu waktunya belajar."
Tony menepis tangan ibunya.
Tak mau kalah, Ibu kemudian meraih dengan paksa buku itu.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, Tony mempertahankan bukunya. Tempat imajinasinya tertangkap dan terabadikan.
Sampai akhirnya...
Buku itu terlepas karena tarikan yang terlalu kuat.
Buku tersebut terlempar ke atas. Menyebarkan kertas-kertas ke langit-langit kamar. Dengan lembaran kertas yang masih berjatuhan secara perlahan, Tony dan Ibunya saling tatapan penuh emosi. Satunya ingin mempertahankan mimpi dan masa depannya, satunya ingin merebut, karena itu bukan masa depan yang tepat bagi anaknya.
Kertas-kertas tadi pun mendarat di lantai kamar Tony. Hasil gambar buatan Tony menjadi berantakan karena ternyata ada beberapa kertas yang tersobek. Melihat hal itu, Tony tersimpuh, menundukkan mukanya, mencoba membereskan kertas-kertas tersebut. Air mata menetes pelan dari pipinya, hingga terjatuh mengenai kertas gambarannya.
Ayah yang mendengar keributan, lalu datang menghampiri.
"Sudah, Ma." bilangnya, menjemput Ibu untuk keluar dari kamar.
Ibunya pun mau tidak mau menuruti Ayah.
Dengan langkah sedikit lunglai, Ibu melihat anaknya masih mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan. Emosinya mereda. Nafas panjang ia hembuskan. Sekarang, ia paham, pintar bukan cuma sekedar matematika. Masa depan bukan sekedar nilai. Biarkan masa depan anaknya ditentukan oleh mimpi dan cita-cita anaknya sendiri. Bukan harus mengikuti kemauan atau paksaan dari orang tuanya.
========================================
Ayah lalu mendorong kursinya ke belakang, meninggalkan kopinya yang masih terisi setengah gelas. Ia tak mengeluarkan kata-kata balasan untuk ucapan istrinya.
***
"Lho kenapa, Ma???" teriak Tony.
"Kamu baru baru boleh ngelanjutin gambar kalo ujian sekolah udah selesai." jawab Ibunya, tegas.
"Emang kenapa sama gambaranku?"
Ibu menjawab, "Nggak ada yang salah sama gambaranmu. Hanya sekarang bukan saat yang tepat buat ngegambar."
Tony lalu memeluk bukunya. "Nggak mau, Ma. Gambaran ini penting buat aku."
"Sudah, sini mana bukunya!" Ibu lalu mencoba meraih buku tersebut. "Sekarang itu waktunya belajar."
Tony menepis tangan ibunya.
Tak mau kalah, Ibu kemudian meraih dengan paksa buku itu.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, Tony mempertahankan bukunya. Tempat imajinasinya tertangkap dan terabadikan.
Sampai akhirnya...
Buku itu terlepas karena tarikan yang terlalu kuat.
Buku tersebut terlempar ke atas. Menyebarkan kertas-kertas ke langit-langit kamar. Dengan lembaran kertas yang masih berjatuhan secara perlahan, Tony dan Ibunya saling tatapan penuh emosi. Satunya ingin mempertahankan mimpi dan masa depannya, satunya ingin merebut, karena itu bukan masa depan yang tepat bagi anaknya.
Kertas-kertas tadi pun mendarat di lantai kamar Tony. Hasil gambar buatan Tony menjadi berantakan karena ternyata ada beberapa kertas yang tersobek. Melihat hal itu, Tony tersimpuh, menundukkan mukanya, mencoba membereskan kertas-kertas tersebut. Air mata menetes pelan dari pipinya, hingga terjatuh mengenai kertas gambarannya.
Ayah yang mendengar keributan, lalu datang menghampiri.
"Sudah, Ma." bilangnya, menjemput Ibu untuk keluar dari kamar.
Ibunya pun mau tidak mau menuruti Ayah.
Dengan langkah sedikit lunglai, Ibu melihat anaknya masih mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan. Emosinya mereda. Nafas panjang ia hembuskan. Sekarang, ia paham, pintar bukan cuma sekedar matematika. Masa depan bukan sekedar nilai. Biarkan masa depan anaknya ditentukan oleh mimpi dan cita-cita anaknya sendiri. Bukan harus mengikuti kemauan atau paksaan dari orang tuanya.
========================================
Akan saya tutup dengan mempromosikan jualan online saya, Arsenio Store ID. Tempat menjual Apparel seperti Sweater, Hoodie, dan Celana yang simple dan minimalis. Cocok untuk traveling dan nongkrong.
Untuk melihat produknya, bisa kunjungi Instagramnya, di @arsenio.store.id, dan Tokopedianya, Arsenio Apparel Store.
Instagram: @arsenio.store.id
Tokopedia: Arsenio Apparel Store
Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Kalau kamu suka tulisan ini, kamu bisa follow akun KaryaKarsa saya di sini. Dan kamu bisa mengapresiasi kreator, dengan cara memberikan tip di KaryaKarsa. Have a nice day 🙂
- short description about the writer-
I talk & write about movies and pop culture
Twitter: @aldypradana17
Instagram: @aldy_pradana17
KaryaKarsa: @aldypradana17
FB Page: Aldy Pradana
Tokopedia: Arsenio Apparel Store ——— Instagram: @arsenio.store.id