Ada dua pilihan saat rasa takut datang menghampiri: biarkan saja atau lawan sampai dia pergi jauh-jauh.
Saya pernah mencoba kedua pilihan itu saat salah satu ketakutan saya merasuki tubuh saya.
Ketakutan saya ialah ketinggian.
Iya, tinggi saya hampir 180 cm, dan saya takut ketinggian.
Dari kecil saya takut ketinggian.
Saya ingat, sewaktu SMP di halaman rumah saya, saya bermain bulutangkis bersama saudara saya. Lalu, pas sedang seru-serunya, shuttlecock yang saya pukul, nyangkut di atas genteng. Sebagai pelaku, saya harus tanggung jawab buat ngambil. Saudara saya ngambil tangga bambu, ditaruh ke dinding, lalu bilang, "Ayo, ambil koknya."
Tau apa yang saya lakukan?
Saya menggeleng, nggak berani.
Serius.
Saya sempet dipaksa naik. Namun, baru dua anak tangga, rasanya udah naik ke lantai 7!
Kaki langsung gemeteran kayak lagi naik bajaj, jantung berdetak 4/4, keringet ngucur sederas air terjun niagara.
Saya langsung turun dari tangga (masih gemeteran), dan akhirnya, saudara saya yang ngambil shuttlecocknya.
Rasa takut ketinggian saya biarkan terus memeluk sampai saya SMA.
Memasuki SMA, mandiri menjadi suatu kewajiban. Mengganti lampu kamar jadi salah tugas tugas saya menuju kemandirian.
Saya sudah termasuk tinggi waktu itu, tetapi lampu masih terlalu jauh. Mungkin jarak dari lantai ke dinding atas hampir 3 meter.
Saya taruh meja setinggi dengkul, lalu saya tambahi kursi plastik (yang biasa ada warung pinggir jalan) di atasnya.
Sekarang, tinggal naiknya.
Yak, naiknya.
Belum naik dada udah berdugem ria.
Overthinking mendobrak masuk, memaksa kepala berpikiran negatif sebanyak-banyaknya dan seheboh-hebohnya.
Gimana kalo nanti saya jatuh?
Gimana kalo kursinya nggak kuat nahan berat saya?
Gimana nanti kalo tiba-tiba saya kepleset?
Gimana kalo saya jatuh terus patah tulang? Harus dibawa ke rumah sakit, padahal biaya pengobatannya mahal.
Siapa coba yang mau bayarin?
Belum naik, pikiran saya udah kayak di drama turki. Penuh konflik di sana sini.
Namun, saya harus tetap lanjut. Harus lanjut. Demi yang namanya kemandirian.
Satu kaki menginjak meja diiringi hembusan nafas yang berat.
"Harus tetep naik." kata saya dalam hati.
Kedua kaki sudah di atas meja. Tangan kanan memegang bohlam, kepala menengadah ke langit-langit.
"Finish your job, Aldy! Do it!"
Gerakan saya mendadak slow motion. Kedua kaki saya naik pelan ke atas kursi, lalu saya mencoba berdiri tegak di kursi tersebut.
Kaki saya yang bergetar kayak vibration di handphone, mengakibatkan kursi bergoyang, bergeser sedikit demi sedikit. Keseimbangan mulai goyah, satu dorongan kecil bisa bikin saya mendarat dengan cantik di lantai.
Saya mencoba tenang. Tangan menyamping, melebarkan sayap keseimbangan. Mata saya melirik ke atas, "Almost there."
Dengan badan membungkuk (karena saya nggak berani berdiri), saya ganti lampunya.
Beberapa detik kemudian, mission complete!
Udah gitu doang.
Singkat, secepat kilat.
Drama di kepala aja yang bikin lama.
Ternyata, tidak sesusah yang saya bayangkan.
Itu SMA, sekitar 4 taun lalu. Gimana dengan sekarang?
Jujur saja, saya masih takut ketinggian. Bedanya, tidak separah dulu. Saya sudah terbiasa dengan kaki saya yang seakan melayang jika berada di tempat tinggi. Overthinking masih suka mampir ke kepala, tapi sekarang saya tau cara melawannya. Saya tau, saya bisa hadapin semua pikiran negatif itu dengan cara: optimis dan berani.
Apalagi saya bekerja di sekolah alam, dimana outbond seperti flying fox adalah hal yang wajib di sana.
Nggak mungkin, kan, sebagai fasilitatornya, tapi takut kalo naik flying fox. Mau taruh dimana, tuh, muka saya, hehe.
Tak jarang, ada anak murid yang nggak berani naik karena takut ketinggian.
Saya dekati dia, lalu menasehati,
"Ada dua pilihan kalo kamu ketakutan: kamu biarin aja atau kamu lawan rasa takutmu.
Kalo kamu biarin aja, kamu bakal ketakutan terus menerus. Kamu bakal takut terus sampai kamu besar nanti. Rasa takutmu bakal nempel terus di badan kamu seumur hidup.
Kalo kamu lawan, rasa takutmu bisa menghilang, dan kamu akhirnya menjadi orang yang berani. Susah? Jelas susah. Tapi layak diperjuangkan. Karena yang untung, ya, kamu sendiri. Nanti ke depannya, kamu nggak lagi takut dengan outbond, tetapi malah ketagihan dengan outbond, sama seperti temen-temen kamu.
Sekarang, ayo kita coba ngebuktiin kalo kamu anak yang berani. Anak yang kuat. Kak Aldy temenin kamu dari sini."
Setelah diberikan nasehat seperti itu, ada beberapa anak murid yang langsung mencoba outbond, ada juga yang masih takut dan perlu motivasi lebih lagi.
Itu hal yang lumrah. Karena bagi saya, melihat anak-anak yang pertamanya takut, kemudian mau mencoba adalah anak yang berani.
Dan jauh di dalam hati saya, rasanya senang sekali ketika mereka berhasil melawan rasa takut mereka akan ketinggian. Karena saat ketakutan datang menghampiri, memang begitulah cara yang paling tepat: lawan rasa takut itu sampai dia pergi jauh-jauh.
- short description about the writer-
I talk & write about movies and pop culture
Twitter: @aldypradana17
Instagram: @aldy_pradana17
KaryaKarsa: @aldypradana17
FB Page: Aldy Pradana
Tokopedia: Arsenio Apparel Store ——— Instagram: @arsenio.store.id
7 komentar
terkadang, takut akan ketinggian itu cuma bisikan hati yg menimbulkan keraguan until mencoba. sama halnya berjalan sendirian di tengah malam. salam dari http://cadiak.com
ReplyKadang takut yang membuat diri tak maju-maju...
Replysetuju! *thumb up*
Replybener banget
ReplyMakasih banget untuk motivasinya :D Serasa ada yang baru di diri saya.
Replyalhamdulillah kalo tulisan saya bisa memotivasi :)
ReplyPosting Komentar