MEMBERI kesan yang baik pada kekasih
adalah sebuah keharusan. Apalagi pada sebuah first date, pria membuat takjub wanitanya sudah seperti tugas negara.
Penting banget cuy!
Itu yang gue rasakan saat sudah
bersama dia.
Hubungan kami sudah menjajaki level
yang lebih tinggi, tapi sampai sekarang, kami belum pernah ngedate. Makanya,
gue sedang mengusahakan untuk membuat first date yang berkesan agar dia
merasa nyaman bersama gue.
Untuk first date ini, gue
memikirkan banyak rencana sebenernya. Gue sudah mengajukan beberapa rencana
tersebut ke dia. Gue pernah mengajaknya nonton film di bioskop, tapi sayangnya,
dia berkata lain.
“Gimana kalo first date kita itu nonton film aja, yang?”
“Nonton apa?” tanyanya.
“Ini ada film judulnya Hijab.
Katanya, sih, bagus.”
“Oh, Hijab. Iya, itu emang bagus,
kok.”
“Nah, berarti beneran bagus.” kata gue,
bersemangat. “Tunggu, kamu kok yakin banget kalo filmnya bagus?”
Uti tersenyum lebar ke gue, “Aku kan
udah nonton.”
“Yah…” bilang gue, kecewa.
“Kalo gitu jangan nonton itu. Masa
kamu nonton Hijab dua kali? Itu kayak kamu cuma nemenin aku nonton doang dong.”
“Terus nonton apa, ya?” Gue menggaruk
kepala, memikirikan film apa yang menarik.
Dia bertanya, “Ada film horror nggak?”
“Bentar.” Gue mengambil tablet gue,
membuka browser, lalu membuka situs 21 cineplex. Setelah terbuka situsnya, gue
lalu menjawab pertanyaannya.
“Nggak ada, tuh.” ucap gue sambil
menggeleng.
“Kenapa? Kamu suka film horror?”
Uti tertawa kecil, “Nggak, hehehe.
Aku kan penakut. Kalo kamu?”
“Nggak juga. Aku juga penakut. Aku
aja terakhir nonton film horror itu SMP.”
“Jadi, kalo kita nonton film horror
kita bakalan takut bareng-bareng dong?” bilangnya setengah bercanda.
“Lucu deh kayaknya.” lanjutnya, tersenyum
sendiri
Gue menepuk jidat melihat responnya.
Karena tak mendapatkan film yang
tepat, ide menonton pun resmi gue hapus.
Gue lalu mencari ide kedua, yaitu
makan bareng.
Dengan muka sumringah, gue bertanya, “Gimana
kalo makan, yang?”
“Boleh, mau makan dimana?” Dia
bertanya balik.
“Kalo Di Pizza Hut gimana?”
“Aku lagi nggak pengin pizza, nih.”
“Kalo di KFC?”
“Aku juga lagi nggak pengin ayam
goreng.”
“Kalo di McD?”
“Kan aku udah bilang aku lagi nggak
pengin ayam.” jawabnya, menghela nafas. “Kok kamu nawarinnya fast food semua sih?”
“Lha terus dimana dong?”
Kami diam sebentar. Seperti
mendapatkan ide dari langit, dia memberi saran, “Gimana kalo Burger King?”
“Itu
fast food JUGA kali!”
“Oh, iya, ya.” jawabnya, polos.
Ide makan pun sekali lagi harus
dihapus.
Gue kembali menguras otak, mencari
apa yang tepat untuk first date kami.
Akhirnya, pada salah satu hari Senin
di bulan Februari, gue mendapatkan ide cemerlang. Tanpa menunda-nunda, gue lalu
membagi ide tersebut ke dia.
“Yang, aku ada ide lagi!” kata gue
penuh semangat.
“Apa?”
“Gimana kalo kita ke Gramedia? Kamu
kan suka buku, aku juga suka buku. Kamu suka aku, aku juga suka kamu… “
“Langsung to the point aja kenapa, sih?”
“Oke, oke.”
Gue mengangkat kedua tangan, lalu
menjelaskan ide gue kata demi kata.
“Gramedia.”
“Berdua.”
“Nyari buku bareng.”
Gue mengangkat kedua alis mata gue,
berharap ia menyetujui ide tadi, “Gimana?”
Dia mengernyitkan dahi, berpikir
benarkah itu ide yang baik.
“Hmmmm.”
Gue lalu menunggu jawaban darinya.
5 menit berlalu.
10 menit berlalu.
2 bulan berlalu.
Akhirnya, Muti memberikan jawaban yang
sudah lama gue tunggu-tunggu.
“Boleh.” katanya, pendek.
Gue mengepalkan tangan kanan, “Yes!”
Kemudian, dengan perasaan lagi
senang-senangnya, gue menanyainya, “Tapi, kapan?”
“Sekarang aja.” jawabnya cepat.
“Sekarang?”
Dia menjelaskan, “Iya, kita kan abis
pulang kerja. Terus lagi nunggu angkot. Ya udah, sekarang aja. Mumpung aku lagi
nggak ada acara juga.”
Gue nggak mampu membalas kalimatnya.
Saat masih membisu, bingung harus
berkata apa, sebuah angkot berwarna orange datang menghampiri.
Angkot itu berhenti tepat di depan
kami. Mengajak kami masuk menjadi penumpang dari angkot yang masih kosong itu.
Dia bergegas naik, lalu duduk di
belakang sopir.
“Ayo naik.” ujarnya setelah memangku
tas punggungnya.
Tak bisa menolak ajakannya, gue lalu
naik dan duduk di dekat pintu.
Dengan perasaan bercampur aduk, gue
berharap semoga first date gue berjalan lancar.
***
Angkot berjalan lambat menyusuri
jalan berlubang mencari penumpang.
Setiap ada orang berdiri di pinggir
jalan, sang sopir menghentikan angkotnya, lalu bilang, “Ayo, naik!” kepada
mereka.
Tetapi, kebanyakan dari mereka menjawab
tanpa suara, hanya menggelengkan kepala, menolak ajakan sopir.
Di dalam angkot tersebut, duduklah kami saling berhadapan. Memangku tas masing-masing.
Akhirnya, kami ngedate.
Tapi tidak seperti pasangan pada
umumnya, kalo ngedate naik mobil atau motor, kami berdua naiknya…
Angkot.
Sungguh tidak elit sekali.
Sebagai cowok, gue agak malu
sebenernya.
Harusnya, gue mengajaknya dengan
menaiki motor keren seperti motor balapnya Valentino Rossi, atau agar lebih
keren lagi, dengan menaiki limosin. Full AC, atap bisa terbuka secara otomatis,
lalu disuguhi minuman chocolate chip
coffe with extra caramel (entah minuman apa itu, tapi terdengar sangat
keren).
Tapi, apa daya, tak ada satu
imajinasi gue itu yang terwujud. Yang kesampaian malah kami duduk berdua,
bersama penumpang lainnya, saling berdempetan bahu di angkot tercinta.
Ini bukanlah cara yang bagus untuk sebuah date. Tambah lagi, belum ada setengah jalan, gue sudah ngantuk duluan.
Mata mulai menutup, gue bertanya
pelan, “Jadi begini kebiasaanmu selama berangkat atau pulang kerja? Hoaaeemm.“
Gue menguap, kepala gue terkantuk-kantuk, “Duduk di angkot selama 1 jam? Nggak
bosen?”
“Aku aja ini udah ngantuk.” lanjut
gue sambil menyandarkan kepala ke belakang.
“Bosen banget.”
“Makanya, pasti bawa cemilan dari
rumah. Biar nggak ngantuk di angkot.”
Dia lalu membuka tas, menunjukkan isi
tas berisi banyak jajanan. “Mau?”
Seperti melihat sebuah emas, kepala
gue langsung bangkit dari sandaran.
“Mau dong!”
Gue mengambil cepat Fitbar miliknya,
lalu membukanya terburu-buru.
Saat mengunyahnya, tiap gigitan
terasa seperti sebuah penyegaran di badan. Rasa kantuk sedikit demi sedikit
mulai hilang.
Masih dalam keadaan mengunyah, gue
bertanya lagi, “Nggak takut kalo naik angkot sendirian? Agak serem tau buat
cewek.” Gue berbicara sambil menyemburkan makanan. “Kenapa nggak naik motor aja?”
Dia menghindari semburan gue, “Ikh, jorok
banget, sih!”
Tanpa segan, dia lalu menjitak gue.
“Aduh! Iya, maaf-maaf, tapi nggak
perlu pake kekerasan juga kali.”
“Kamunya, sih, gitu.” balasnya,
jengkel.
Dia lalu menjawab pertanyaan gue
tadi, “Aku bisa naik motor. Di rumah juga ada dua motor, Ninja sama Mio.”
“Nah tuh, ada motor di rumah! Pake
aja salah satu!” kata gue, semangat.
“Tapi, aku nggak punya SIM.”
Gue lalu memasang raut muka kecewa,
“Yaelah. Sama aja bohong.”
Kesal dengan jawaban gue, dia lalu
menjitak gue lagi.
“Aduh! Ini kenapa kamu jadi hobi
jitak, sih?” Gue lalu mengelus-ngelus kepala, menahan sakit. “Cewek kok barbar
gini.”
“Biarin. Kamunya, sih, gitu.”
katanya, singkat.
Dalam obrolan penuh jitakan ini, kami
melanjutkan perjalanan dengan angkot tercinta menuju Metropolitan Mall di
Bekasi.
***
Sesampainya di tempat tujuan, kami
turun dari angkot, lalu menyebrang jalanan yang ramai. Gerimis menemani kami
berdua melewati mobil-mobil yang terjebak macet. Menghadapi klakson dan
genangan air hujan, dengan susah payah akhirnya kami berhasil mencapai pintu
masuk Metropolitan Mall.
“Kita kayak abis ngelewatin haling
rintang, ya?” ucap gue sambil merapikan rambut yang basah karena rintik hujan.
Dia lalu mengambil tisu dan membersihkan
mukanya, “Iya, mau kesini aja, susah banget perjalanannya.”
Melihat itu, gue berkomentar, “Udah,
nggak usah dilap pun, kamu tetep cantik kok buat aku.”
“Hih.” katanya, masih mengelap
wajahnya.
“Noh, bersihin muka kucelmu.” Dia
memberikan tisu bekasnya ke gue.
Gue mengambilnya, lalu segera melap
muka gue. Saat membersihkan muka gue yang basah bercampur asap knalpot, gue
baru tersadar, “Kok kamu ngasih aku tisu bekasmu, sih? Emang aku tempat
sampah?”
Cuma tertawa kecil, dia lalu berjalan
masuk, meninggalkan gue.
Sebal, gue lalu membuang tisu tadi ke
tempat sampah, dan mengejarnya.
Sudah berada di sebelahnya, dia
ngomong, “Cari mushola dulu, yuk. Solat sekalian bersih-bersih.”
Gue mengangguk, lalu mencari dimana
mushola berada.
Singkat kata, kami sudah solat dan
tampak jauh lebih bersih. Kami pun melangkahkan kaki ke tujuan utama kami, toko
buku Gramedia.
“Aku lagi ngincer dua buku, nih. Buku
pertama, bukunya Mas Bara, Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik Untuk Bunuh Diri (bukan promo, btw). Terus buku kedua, bukunya Bene,
Ngeri-Ngeri Sedap (sekali lagi, ini bukan promo terselubung).”
Gue menambahkan, “Kalo kamu ada buku
inceran, nggak?”
“Aku nggak ada, sih. Nanti mau
liat-liat dulu, mungkin ada yang cocok.” jawabnya.
Menitipkan barang bawaan kami, kami
lalu mendekati rak-rak buku yang berada di Gramedia.
Gue, yang fokus mencari buku inceran
gue, berjalan sendiri untuk menemukan dua buku itu.
Mendekati rak buku fiksi, gue lalu
melihat seksama deretan buku disana. Tangan gue menyentuh salah satu buku, gue
perhatikan judul bukunya.
“Bukan ini.” kata gue dalam hati.
Gue membentuk dua jari gue, telunjuk
dan jari tengah, seperti dua kaki jenjang yang sedang berlari. Kedua jari gue
ini, menjelajah dari baris paling atas, berpetualang dari ujung kiri sampai
ujung kanan.
Kalo nggak ketemu, dua jari gue
meloncat ke baris bawahnya, lalu berlari lagi sampai ketemu buku yang gue
incar. Begitu terus sampai baris terbawah.
Setelah kelelahan mencari, kedua jari
tadi akhirnya menghentikan langkahnya tanpa menghasilkan apa-apa.
“Kok nggak ada, ya?” bilang gue
sambil mengusapkan keringat di dahi.
Akhirnya, gue mencari petugas
Gramedia, bertanya adakah stok buku inceran gue.
Salah satu petugas mengetik judul
buku di komputer, lalu bicara, “Kalo Ngeri-Ngeri Sedapnya, stoknya sudah habis,
Mas. Tapi, kalo Jatuh Cinta itu masih ada.”
Ia lalu meninggalkan komputernya,
“Sebentar, saya carikan dulu.”
Gue menunggu cemas. Padahal, cuma
buku bacaan doang, tapi bisa juga bikin gelisah.
Petugas itu kembali membawa buku
bercover ungu, “Ini, Mas.”
“Makasih, ya, mbak.”
Gue mengambilnya dengan muka
sumringah.
Saat hati gue lagi seneng-senengnya,
gue baru sadar, “Lho, si dia mana, ya?”
Karena terlalu fokus dengan buku
inceran gue, gue lupa kalo lagi first date sama dia. Harusnya, kan,
nyari buku berdua, tapi kenapa malah nyari buku sendiri-sendiri begini?
Agak panik, mata gue menelesuri tiap
sudut Gramedia.
“Perempuan berkerudung merah, kamu
dimana?”
Mata gue sampai melotot, tapi tetap
tak menemukannya.
Gue memutuskan mencari dari rak satu
ke rak lain. Memegang buku Mas Bara, gue setengah berlari mencari dimana dia
berada. First date yang absurd, pikir gue.
Gue mencari di rak buku agama.
Nggak ada.
Di rak buku memasak.
Nggak ada.
Di rak buku dewasa.
Nggak ada.
Saat memasuki rak merajut, ada tangan
menyentuh bahu gue.
“Abis dari mana aja, kok keringetan
gitu?”
Gue membalikan badan.
Ah! Dia ternyata ada disini!
Gue ingin meluk dia seketika, tapi
sebelum itu kejadian, dia bicara, “Heh, jangan deket-deket. Badanmu bau.”
Asem.
“Kamu kemana aja? Aku dari tadi
nyariin kamu.” tanya gue.
“Aku dari tadi disini. Kan kamu yang
ninggalin aku, kan?”
Iya,
juga, sih.
Gue menggaruk kepala, menutupi rasa
bersalah.
“Ya, udah, abis ini, kita nyari
bukunya berdua, ya.” jelas gue. “Kamu udah dapet bukunya?”
“Belum, nih. Masih cari-cari. Kalo
kamu?”
“Nih.” Gue menunjukkan buku yang gue
bawa. “Tapi, baru satu, buku inceranku satunya, nggak ada. Kayaknya, bakal
ganti buku inceran, nih.”
“Ayuklah, kita nyari bukunya berdua.”
katanya, jalan menghampiri rak buku lain.
“Oke.”
Kami lalu mendatangi rak-rak lain
untuk mencari buku yang paling sreg untuk kami.
***
“Akhirnya, selesai juga.”
Gue menghempaskan badan ke kursi,
menaruh kantung plastik bertuliskan Gramedia di meja kayu berbentuk bundar.
“Capek ya tadi nungguin aku?”
tanyanya, ikut duduk di kursi yang berhadapan dengan gue.
“Nggak juga, sih.” Gue membenarkan
posisi duduk. “Cuma dari tadi kan muter-muter terus, nggak sempet duduk.”
Gue lalu merenggangkan kaki,
melemaskan otot-otot setelah berjalan mencari buku selama 2 jam terakhir. Dia
membuka kantung plastik, lalu mengambil bukunya.
“Makasih, ya, udah bayarin.”
bilangnya, tersenyum.
“Iya, santai ajalah sama aku.” Gue
menyombongkan diri seakan-akan telah melakukan hal keren, padahal setelah bayarin,
duit gue sekarang hanya tersisa 20 ribu.
Masih senyum-senyum kecil bangga
terhadap diri sendiri, gue bertanya, “Buku apa sih itu? Aku kayaknya pernah
liat covernya, deh.”
“How to be Interesting.” Dia
menunjukkan cover bukunya ke gue. “Cara Menjadi Menarik Dalam 10 Langkah
Sederhana.”
Tangan kanan gue mengambil buku itu,
“Oh, ini…”
Gue membukanya, memindahkan
halamannya dengan cepat, “Dulu aku pernah baca ini. Nggak sempet beli, sih,
cuma liat doang. Bukunya isinya kalimat motivasi singkat terus ada
lingkarannya.”
“Kenapa kamu beli buku ini? Kamu mau
jadi menarik? Ngapain?” Gue mengembalikan bukunya. “Kamu kan udah menarik buat
aku.”
Gue lalu mengedipkan mata kiri gue.
“Mulai deh.” Muti memasang muka jijik.
Mengambil buku lalu menaruhnya dalam
tas, dia menjawab, “Lucu aja judulnya. Terus penasaran juga sama isi bukunya.
Ya, udah, akhirnya beli, deh.”
“Kalo kamu? Jadinya nambah buku apa?”
Gue mengambil salah satu buku dari kantung
plastik, “Jadinya ini.”
“Komik Indonesia gitu, judulnya Juki
Komikstrip.” Gue membolak-balik bukunya. “Nambah satu ini soalnya aku butuh
komedi buat nyaingin novel serius punyanya Mas Bara.”
“Mau baca?”
“Nggak, ah. Lagi nggak minat sama
komik.” balasnya.
Ia lalu menengok melihat jejeran
donat di sebelah kirinya, “Kan sekarang kita udah di J.Co, nih, beli yuk. Kamu
kan yang minta kesini, masa kita nggak beli? Cuma duduk-duduk doang, gitu?”
“Ya udah, sana beli. Aku donat
cokelat, pokoknya, ya.”
Kemudian, gue mengambil dompet untuk
memberikan uang untuknya.
Tapi, setelah melihat isinya, gue
baru sadar kalo uang gue nggak cukup. Dalam dompet gue hanya ada satu lembar 20 ribuan.
Sendirian. Tanpa teman. Paling ada beberapa recehan menememani, tapi sama
sekali tak menambah banyak.
Gue menelan ludah.
20 ribu emangnya cukup buat beli
donat buat dua orang?
Aldy, kamu sungguh memalukan.
Tak ada yang bisa gue lakukan, selain
berkata jujur, dan berharap dia mau membayar makanan dan minuman nanti.
Astaga, membiarkan perempuan membayar
ngedate? Predikat gue sebagai lelaki jelas perlu dipertanyakan.
“Eeee… Yang…” bilang gue, grogi.
“Uangku, ternyata nggak cukup, nih.”
“Pake uangmu, dulu, ya.” kata gue
dengan keringat mengucur deras beserta jantung berdentum keras.
Sesudah kata-kata itu keluar dari
mulut, gue berharap cemas.
Semoga
aja dia nggak ilfil dengan kalimat gue barusan.
Beberapa detik kemudian, dia menatap
gue, mulutnya mulai membuka pelan, hendak menjawab kalimat gue barusan.
Entah kenapa, adegan itu terasa
lambat dan mendebarkan.
Kira-kira
apa ya jawabannya?
Apakah
dia akan menjawab “YA”?
Atau,
apakah dia akan menjawab “TIDAK”?
Saksikan
di KATAKAN CINTA minggu depan!
Halah.
Opo sih iki.
Akhirnya, dia membuka lebar mulutnya.
Tampak gigi bawahnya putih cemerlang, dan lidahnya bergoyang kecil.
Keringat gue mengucur pelan dari dahi
menuju pipi, menyaksikannya penuh perhatian.
Bibirnya sedikit monyong ke depan, membuat
sebuah kata yang ia akan bicarakan.
Badan gue mendekat ke arah meja,
melihatnya lebih seksama dan lebih dekat. Tak sabar dengan adegan slow motion ini.
Dan keluarlah kalimat darinya…
“Oke.”
Muti lalu beranjak dari kursi, memesan
donat dan minuman. Sedangkan gue, mencoba menenangkan jantung karena kejadian
mendebarkan tadi.
Setelah berbincang-bincang sambil menguyah donat yang dibelikan dia, kami pun pulang.
Setelah berbincang-bincang sambil menguyah donat yang dibelikan dia, kami pun pulang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.30,
mungkin tidak terlalu malam, tapi bagi dia ini sudah melebihi jam malamnya.
Kaki kami menginjakkan genangan air
ketika keluar dari Metropolitan Mall. Berjalan bersebalahan, rintik hujan
menyambut kami dengan sentuhannya yang halus. Air yang turun begitu lembut
seperti ingin menambah keromantisan dari first date kami.
Sama seperti tadi, jalanan masih
ramai. Motor menyelip diantara mobil-mobil, dan angkot menunggu di sebelah kiri
jalan, menunggu datangnya penumpang. Sekarang, kami berada di pinggir
jalan, dekat rambu lalu lintas.
Untuk menaiki angkot tujuan pulang,
kami harus menyebrang terlebih dahulu, dan menaiki angkot yang lagi ngetime di sebelah sana.
“Mana tanganmu?”
Tangan kiri gue terbuka lebar.
Ia menanggapi, “Kenapa? Kan, payung
kamu yang pegang. Mau aku bukain?”
“Nggak usah pake payung. Cepetan siniin
tanganmu.”
Agak bingung, dia lalu memberikan
tangan kirinya.
Tangan kiri gue meraih tangan
kanannya, menyatukan tangan berjari panjang gue dengan tangan berjari mungilnya
dia. Tangan kami berpadu di tengahnya riuhnya jalanan yang basah akan hujan. Seperti
tak peduli, seperti dunia milik sendiri.
Rambu hijau yang tadi menyala,
sekarang meredup. Lalu, rambu merah bersinar dengan terangnya, memberi kode untuk
kami berjalan ke seberang.
Masih berpegangan tangan, kami melintas di atas zebra cross yang hampir memudar. Kami seperti berbinar karena terkena lampu motor dan mobil. Terang lampunya seakan ingin membuat akhir yang manis untuk first date kami.
Sampai di ujung jalan, genggaman tangan kami mau tidak mau harus berpisah, melepaskan paduan tangan yang sempat memiliki momen romantis saat menyebrang.
Kami lalu menaiki angkot, duduk paling di belakang, dan sekali lagi berhadap-hadapan. Mata kami bertemu, tapi tak ada kata yang keluar. Kami cuma tersenyum setelah mengalami banyak hal pada hari ini.
Melihatnya senyumannya, gue merasa sangat gembira. Karena first datenya tidak berjalan sesuai yang gue harapkan, malah cenderung absurd dan nyeleneh. Tetapi, setidaknya, date kami ini bisa berakhir manis seperti yang gue butuhkan.
Akan saya tutup dengan mempromosikan jualan online saya, Arsenio Store ID. Tempat menjual Apparel seperti Sweater, Hoodie, dan Celana yang simple dan minimalis. Cocok untuk traveling dan nongkrong.
Untuk melihat produknya, bisa kunjungi Instagramnya, di @arsenio.store.id, dan Tokopedianya, Arsenio Apparel Store.
Instagram: @arsenio.store.id
Tokopedia: Arsenio Apparel Store
- short description about the writer-
I talk & write about movies and pop culture
Twitter: @aldypradana17
Instagram: @aldy_pradana17
KaryaKarsa: @aldypradana17
FB Page: Aldy Pradana
Tokopedia: Arsenio Apparel Store ——— Instagram: @arsenio.store.id