Pedekate bisa berupa ngajak ngobrol
duluan, say hello lewat chatting, atau menawarinya pulang bareng.
Tahap yang terakhir, baru aja gue
lakukan beberapa hari yang lalu. Gue mengajak perempuan yang gue suka untuk pulang
bareng. Dan selama perjalanan itu, inginnya, kami bisa saling mengenal lebih
dekat satu sama lain. Saling bertukar cerita antara kami berdua.
Kejadian itu terjadi saat pulang
sekolah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 02.30, para murid sudah pulang,
dan sekolah sudah tampak sepi.
Sekolah hanya tersisa beberapa guru
yang masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Gue yang sudah bersiap pulang,
lalu berinisiatif ngewhatsapp dia, “Pulang bareng, yuk.”
Sekian menit kemudian, ada balasan
singkat darinya, “Yuk.”
Gue lalu menunggunya di depan
sekolah, menanti dia keluar dari perpustakaan.
Rencana gue begini, gue akan mengantarnya ke pasar pocong (iya, namanya emang gitu, dan tidak, disana nggak ada yang jualan pocong), menemaninya ke tempat angkot biasa lewat.
Dia memang berangkat-pulangnya pake angkot.
Katanya, butuh satu jam perjalanan untuk sampai dari rumah ke sekolah, dan juga
sebaliknya. Seandainya, gue sudah punya motor yang layak pakai, gue akan
mengantarnya sampai rumah. Bukan cuma mengantarnya sampai ia naik angkot doang.
Ah, gue memang lelaki cemen kurang modal.
Kembali lagi ke sekolah, akhirnya dia
keluar dari perpustakaan, berjalan mendekati gue yang sudah menunggu lama.
Melihatnya datang, gue senang
sekaligus deg-degan.
Gue kemudian memperhatikan
kecantikannya yang kurang ajar itu.
Wajahnya putih halus dengan bola mata
besar dan jernih. Ada tai lalat di atas bibir kanannya, membuat dia terlihat
khas dibanding perempuan lain. Kain kerudung membungkus kepalanya, menjadikan
mukanya tampak bulat dan lucu. Mukanya seperti anak kecil masih SMP, tidak
terlihat kalo dia sudah lulus kuliah D3.
Saat itu, dia memakai kerudung pink
ditemani baju berwarna sama yang berbintik putih. Dia juga menggendong tas
merah tua, dan menggunakan celana hitam panjang. Sneakers abu-abu agak kusam ia pake tanpa mengatupkan bagian
belakangnya.
Namanya Uti. Seorang gadis yang mampu membuat gue suka cukup dalam hitungan detik saja.
Namanya Uti. Seorang gadis yang mampu membuat gue suka cukup dalam hitungan detik saja.
“Yuk.” kata gue. Dia lalu membalas
dengan mengangguk agak malu.
Berjalan keluar sekolah, kami berdua lalu
berjalan di jalan yang menurun. Berdiri di sebelah kanannya, gue bertanya, “Kamu
tau dari mana sekolah ini?”
“Aku tau dari kakakku.” jawabnya,
tanpa menoleh. “Dulu, dia pernah kerja disini. Tapi, udah lama banget.”
Uti, panggilannya, melanjutkan, “Lagian, aku juga
masih baru disini, nggak mungkin langsung tau sama sekolah ini, kan?”
“Maksudnya, baru?” tanya gue,
penasaran.
“Aku kan asli Padang, baru disini
sekitar satu bulanan.”
Gue mengangguk, mengerti akan
sesuatu, “Oh, Padang…”
“Horas!”
Uti akhirnya menoleh, melihat gue, “Kak Aldy,
itu bahasa Batak.”
“Padang pake bahasa Minang.”
“Oh? Salah, ya? Maaf-maaf.” balas gue
dengan rasa bersalah bercampur malu.
Gue lalu terdiam. Suasana pun
canggung.
Masih menuruni jalan yang lumayan panjang,
gue berpikir bagaimana caranya memecahkan keheningan ini. Gue lalu teringat
sesuatu. Gue lalu membuka tas punggung gue, mengambil salah satu buku terbitan
Gagasmedia (bukan promosi, btw).
“Oh, iya, nih bukunya, Sabtu Bersama
Bapak.”
Tangan kanan gue menyerahkan buku ke
dia sambil bilang, “Kamu kan yang minta lewat Instagram?”
“Iya, hehe.” balasnya sambil
mengambil buku tersebut.
“Agak aneh tau cara kamu pinjem buku
ini. Kamu follow akunku duluan, kamu
ngomen di salah satu foto lamaku, terus kamu bilang mau pinjem bukuku. Wah, jangan-jangan
aku di-stalking cewek cakep, nih.”
kata gue, setengah bercanda.
Dia menjawab agak malu, “Apaan, sih.”
“Nggak gitu, juga kali…”
Uti lalu bercerita, menjelaskan
proses peminjaman buku Sabtu Bersama Bapak milik gue.
“Aku kan kenal Kak Aldy pas kita
pertama ketemu di pelatihan guru kemarin. Waktu itu Kak Aldy ngomong, ‘Nggak
bawa buku, ya?’ Dan dari situ, aku hafalin tuh nametag yang nempel di baju Kakak.”
“A-L-D-Y.”
“Nah, sehabis pelatihan itu, aku
nyari FB sekolah. Aku follow-in guru-guru
yang aku kenal. Nggak sengaja, ketemu tuh nama Kak Aldy, ketemu juga akun
Instagramnya. Terus, aku liat-liat foto di Instanya Kakak, aku liat ada foto
novel yang judulnya menarik. Udah deh, aku komen, minta pinjem.”
“Gitu.”
“Jadi, jangan mikir yang aneh-aneh,
deh. “ tutupnya kesal, tapi malah terkesan lucu.
“Iya-iya.” ujar gue. “Jangan ngambek,
dong. Nanti cantiknya ilang, lho.”
Dia hanya diam, tapi tampak ia
tersenyum simpul mendengar kalimat gue barusan.
Selesai menuruni jalan, kami pun
belok kanan, menginjak jalan yang sudah selesai diaspal. Gue lalu bertanya, “Terus
gimana perasaanmu disini?”
“Masih membiasakan diri di
perpustakaan. Maklum, masih baru.” ucapnya. ”Seneng juga, karena ketemu banyak
anak-anak, tapi harus ngapalin nama anak cepet-cepet.”
“Soalnya, aku pelupaan.”
Gue menenangkannya, “Santai, aja kali.
Aku pertama juga bingung ngapalin nama. Tapi, lama-lama juga hafal. Itu emang
proses, kok. Nggak bisa langsung hafal seketika.”
“Bener juga, sih.” Dia melanjutkan. “Kalo
Kak Aldy ngajar dimana?”
“Aku asisten guru di kelas Transisi.
Di SNC, Special Needs Center. Aku ngebimbing anak-anak autis.”
Agak kaget, dia berkata, “Wow, autis?
Harus sabar, dong, berarti?”
“Banget.”
Selesai melewati jalan yang baru
diaspal, kemudian masuk sebuah perumahan. Ada beberapa anak kecil sedang bermain,
salah satu mereka ada anak kecil yang bermain cuma memakai celana dalam doang.
Melihat mereka bermain, gue kembali
bicara dengan menggunakan gesture tangan agar terkesan akrab. “Tau, nggak, sih?
Dulu, aku pernah beropini kalo ‘aku tuh nggak suka anak kecil’. Aku mikir gitu
karena mereka tuh banyak polahnya, bandel, sama nyebelin.”
“Tapi sekarang, setelah masuk sekolah
ini, aku jadi ketemu terus sama anak kecil. Jadinya? Aku malah suka sama anak
kecil. Aneh ya?”
“Kamu juga gitu, nggak?”
Dia menoleh, “Aku di rumah kakak, ada
dua anak kecil. Ya gitu, juga. Kadang, mereka tuh bandel sama nyebelin banget.
Tapi ujungnya, pasati ngangenin. Jadi, kalo aku udah betah sama anak kecil.”
Gue menggangguk setelah mendengar
penjelasannya. Melihat ujung jalan, tangan gue menunjuk ke depan, “Nah, itu,
udah keliatan pasar pocong.”
Kemudian, kami keluar dari perumahan,
menyebrangi jalan yang berlubang.
“Nggak enak, nih lewat sini. Jalannya
becek sama nggeronjal.” kata gue,
berjinjit menghindari kubangan air.
“Emang.” Dia melompati lobang besar berisi
genangan air cokelat. “Apalagi kalo abis hujan gini.”
Sampai di seberang jalan, kami lalu
melanjutkan perjalanan kami. Angkutan umum dan motor menemani langkah kami
waktu itu. Suasana ramai pasar membuat kami berhenti mengobrol beberapa detik.
Dia berjalan di depan gue. Meski kakinya termasuk pendek, jalannya sungguh cepat
sekali.
Tertinggal di belakangnya, gue memprotes jalannya yang ngebut itu.
“Kamu sadar nggak, sih, kalo jalanmu
itu cepet banget?” seru gue, mengejarnya dari belakang. “Aku harus ngikutin
tempo jalan cepatmu, nih.”
Sadar akan kalimat gue barusan, dia lalu
memelankan gerak kakinya. Sekarang, kami sudah sejajar lagi. Ia pun kembali
berdiri di sebelah kiri gue.
“Udah kebiasaan. Kalo jalan sendiri,
pasti jalan cepet begini.”
Gue menjawab dengan niat melucu, “Kirain
karena kamu ngerasa ilfil sama aku, terus jalan cepet, biar bisa segera
nyingkirin aku.”
“Nggak, kok, kak.” bilangnya. “Malah
enak, sekarang kalo jalan, ada yang nemenin.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, dia
tersenyum malu. Gue yang mendengarkannya juga senyum-senyum malu. Kode banget ini mah!
Sesudah sampai ke pertigaan, kami
belok kiri, dan menunggu disana. Di tempat itu, memang sudah jadi langganan
dimana angkotnya datang. Kami menunggu sebentar, lalu datanglah angkot berwarna
orange agak kumuh itu.
Angkot itu berhenti di depan kami. Sebelum
menaiki angkot tersebut, ia menoleh, menatap mata gue cukup dalam, dan berkata,
“Makasih, ya, udah mau nemenin.”
Gue tersenyum, “Iya, sama-sama.”
Uti lalu masuk dan duduk di belakang
sopir. Sedangkan gue, masih berdiri di luar, menunggu angkot yang dinaikinya
berjalan. Kami masih melihat satu sama lain. Mata kami masih saling bertatapan
seperti tidak mau lepas. Dalam tatapan itu, timbul suatu rasa di hati gue, dan
mungkin di hati dia juga. Suatu rasa yang dialami oleh orang yang sedang jatuh
cinta. Suatu rasa yang menyelimuti hati orang yang sedang kasmaran.
Kemudian, dia melambaikan tangannya
sambil mengucapkan “Dadah” dengan suara pelan. Gue lalu membalasnya dengan
mengucapkan kata yang sama.
Beberapa detik berlalu, angkot itu
akhirnya berjalan meninggalkan gue sendirian.
Saat memandanginya yang mulai
menjauh, gue mencoba mengerti beberapa tanda yang dia berikan. Melihat dari ekspresinya,
gerak-geriknya, dan cara bicaranya, gue pun tau,
Itulah tanda pedekate gue berhasil.
Itulah tanda dia telah membuka
hatinya.
Itulah tanda dia menyukai gue.
Akan saya tutup dengan mempromosikan jualan online saya, Arsenio Store ID. Tempat menjual Apparel seperti Sweater, Hoodie, dan Celana yang simple dan minimalis. Cocok untuk traveling dan nongkrong.
Untuk melihat produknya, bisa kunjungi Instagramnya, di @arsenio.store.id, dan Tokopedianya, Arsenio Apparel Store.
Instagram: @arsenio.store.id
Tokopedia: Arsenio Apparel Store
- short description about the writer-
I talk & write about movies and pop culture
Twitter: @aldypradana17
Instagram: @aldy_pradana17
KaryaKarsa: @aldypradana17
FB Page: Aldy Pradana
Tokopedia: Arsenio Apparel Store ——— Instagram: @arsenio.store.id
6 komentar
mntap
ReplyBeuh! *angkat jempol*
Replykalo orangnya baca ini gimana yah ?
ReplyGapapa, udah dapet ijin kok :D
Replyhahahahaha
ReplyAda-ada aja ya, setelah baca artikel ini ternyata pedekate aye gagal.
mungkin karena ente nggak follow blog ini kali, jadi ada kena kutukan terselubung *malah promo blog*
ReplyPosting Komentar