Gue punya hobi nonton film di bioskop
sendirian. Bukan karena faktor jomlo, atau nggak punya temen, tapi gue merasa
ada suatu keseruan tersendiri saat nonton sendirian. Nggak ribet, dan nggak
perlu sibuk menanggapi pertanyaan dari temen, “Eh, kok dia bisa hidup lagi,
sih, Dy? Jelasin dong.”
Kalo nonton sendirian, semua terasa lebih
tenang dan jadi bisa lebih fokus sama cerita filmnya.
Dari kebiasaan gue ini, gue menemukan beberapa pengalaman
yang cukup nyeleneh.
Misalnya,
Saat nonton The Raid
Gue inget, gue nonton di hari pertama film itu
tayang, tanggal 21 Maret 2012. Di bioskop 21, Solo Grand Mall, penonton
memenuhi studio itu. Gue mendapatkan posisi tempat duduk yang enak, kalo nggak
salah di tengah, di kursi D.
Film dimulai, semua berjalan normal seperti
seharusnya.
Iko Uwais aktingnya masih datar waktu itu. Saking
datarnya, bahkan ada yang ngira kalo tokoh utamanya bukan dia, tapi Joe Taslim.
Pas adegan Joe Taslim dibunuh sama Mad Dog, gue denger ada salah satu penonton
ngomong, “Lho, kok jagoannya mati?”
Ternyata, tampang dan akting Joe Taslim jauh lebih
jagoan daripada Iko Uwais.
Memang sih, aktingnya jauh lebih meyakinkan
daripada Iko. Raut mukanya Iko kayak Kristen Stewart. Datar, dan tanpa
ekspresi.
Saat asik menonton, gue memperhatikan di
sebelah kanan gue ada seorang cowok berumur 30an. Memakai jaket berwarna putih,
berkacamata, beramput hitam cepak. Tiap adegan sadis terpampang, tangannya
selalu meremas sandaran kursi studio. Kadang, ia menutup mata, tanda kengerian.
Dan setiap ia melakukan itu, gue selalu bilang
dalam hati, “Hih, dasar cowok cemen.”
Songong, ye? Hehehe.
Namun, ada orang yang jauh lebih songong dari gue
waktu itu. Orang itu duduk di sebelah kiri gue. Cowok, berumur sekitar 17
taunan. Gayanya modis, tapi cenderung alay. Di sebelah kirinya, ada pacarnya,
yang memeluk erat tangan cowoknya.
Kenapa gue tau sedetail itu? Karena gue memang
sengaja untuk tau cowok norak ini. Gue ingin tau gimana bentuk cowok kemaki
ini.
Cowok ini duduk dengan menyandarkan kakinya di
kursi yang berada di depannya. Saat itu kursi depannya emang kosong, tapi tetep
aja, melanggar etika menonton di bioskop.
Tiap ada adegan sadis, ia ngomong, “Anjing!
Sadis banget!”
Tiap ada adegan berantem yang seru, ia teriak,
“Gila, keren banget gerakannya.” Kemudian, ia meniru gerakan yang ia rasa
keren, sambil mengeluarkan efek suara sendiri, “Duak! Duak! Duak!”
Pacarnya menoleh, lalu berkata, “Yang, apaan
sih? Nontonnya yang tenang.” sambil menarik tangan kiri cowoknya. Tapi tetap,
cowoknya nggak menggubris. Ia tetap nonton seakan-akan studio itu miliknya
sendiri.
Dasar kampret.
Pengin banget negur cowok alay itu, “Mas,
tolong kakinya turunin sama tingkahnya lebih sopan dikit. Ini studio bioskop,
bukan kebun binatang. Pertama kali nonton di bioskop, ya?”
Tapi, kayaknya ia nggak bakalan dengerin
kata-kata gue. Biasa, cowok alay kalo dinasehatin, bukannya ngebenerin
perbuatannya, malah makin jadi dan makin ngeselin.
Akhirnya, gue cuma bisa pasrah dengan gayanya heboh
itu. Merasa rugi telah membayar 25 ribu untuk pengalaman nonton seperti itu.
Muka gue selama nonton |
Saat nonton Wreck-It
Ralph
Lain lagi saat nonton film kartun ini. Gue
inget, gue menonton film ini di Cito,
Surabaya. Studio itu cukup sepi, hanya sekitar 10 orang doang.
Gue (masih) menonton sendirian, dan duduk di
kursi B bagian tengah. Penonton lain juga memilih bagian tengah, entah di kursi
A, C, atau D. Studio yang sepi, selalu dimanfaatkan untuk mendapatkan tempat
duduk yang enak.
Namun, ada yang berbeda pendapat sama opini gue
barusan.
Ada satu pasangan, cowok-cewek (ya, iyalah,
masak cowok-cowok, hembrong dong) yang milih kursi di bagian pojok kiri atas.
Studio yang sebegitu besarnya, lalu sepi pula, bukannya dimanfaatkan untuk
dapet kursi yang enak buat nonton, tapi malah milih kursi yang paling nggak
enak.
Yaitu, di pojok kiri atas.
Apakah gue curiga dengan mereka?
Jelas.
Dua anak SMA, yang masih mengalami masa-masa
puber, kasmaran, dan otaknya dipenuhi nafsu cinta yang menggebu-gebu. Duduk
berdua di tempat sepi, gelap, dan dingin. Apa yang bisa mereka lakukan selain
saling menghangatkan?
Gue coba menepis pikiran kotor itu.
Gue nikmati aja film Wreck-It Ralph sampai
selesai.
Filmnya rampung, gue pun puas. Ternyata,
filmnya bagus banget. Gue langsung memasukkan film ini sebagai salah satu film
terbaik menurut gue.
Gue lalu berdiri, bersiap keluar dari studio.
Gue melirik ke kursi bagian kiri atas, mencuri pandang kepada pasangan SMA tadi.
Gue liat, si cewek membenarkan jaketnya. Ia menutup resleting jaket hitamnya,
lalu merapikan rambutnya yang agak berantakan. Sedangkan si cowok, ia
mengeluarkan seragamnya, kemudian mengencangkan ikat pinggangnya.
Gue mengembalikan pandangan ke depan, mencari
tanda EXIT di studio.
Keluar dari studio, gue berkata dalam hati, “Kayaknya,
pasangan tadi puas banget, deh.”
sambil mencoba nggak iri karena nonton film ini sendirian.
bayangin sendiri aja mereka ngapain, nggak perlu pake gambarnya, kan? |
Saat nonton The Raid 2
Ini terjadi pada Jum’at, 28 Maret 2014.
Gue dan
Abid berencana nonton The Raid 2 di hari pertama penayangan, dan di jam pertama
tayang, yaitu jam 12.45.
Masalahnya, itu sehabis solat Jum’at. Berarti, kami
mau nggak mau harus ngebut, karena di jam berikutnya, kami berdua nggak bisa nonton
karena punya acara lain.
Jam dinding menunjukkan pukul 12.00
Adzan sudah selesai, sekarang Khotib bersiap
berceramah di atas mimbar.
“Menurutmu bakal tekan, Dy?” tanya Abid.
“Tekan.
Masjid iki biasane cepet, kok.” jawab gue, singkat.
15 menit berlalu, Khotib masih bersemangat berceramah.
25 menit berlalu, Khotib masih berceramah
dengan menggebu-gebu.
“Hoi, ngomongmu cepet? Opone sing cepet?” tanya
Abid, meledek.
“Biasane cepet, sih. Palingan abis ini
selesai.” gue menjawab sambil melihat jam dinding. "Nah, kui wes rampung. Ayo, geg ndang solat, geg ndang mangkat."
Kami pun solat solat Jum'at berjamaah. Dan akhirnya, baru selesai pukul 12.35.
"10 menit sebelum film tayang, dan kita bahkan belum nyampe di bioskop XXI lho, Dy." seru Abid, lagi-lagi meledek.
"Tenang." kata gue. "Solo Square deket kok dari sini, 5 menit nyampe. Tapi, tetep, kita harus ngebut."
Dengan cepat, kami menuju parkiran motor, dan siap menuju lokasi.
Kami melalui jalan raya yang cukup rame waktu itu. Layaknya game Minion Rush, kami meliuk-liuk melewati mobil demi mobil. Saat jalanan sepi, meski cuma beberapa meter doang, kami manfaatkan dengan menancapkan gas semaksimal mungkin.
Saking ngototnya saat ngebut, tanpa sadar, kami menyenggol salah satu spion motor.
"HEH!" teriak sang sopir. "Padakke ki dalane mbahmu!"
Kami pun segera minta maaf (dalam hati), lalu melengos pergi masuk ke Solo Square.
Jam menunjukkan pukul 12.40
"Beneran kan 5 menit." kata gue, menoleh ke Abid. "Sekarang, tinggal beli tiketnya. Moga aja masih kebagian tempat duduk yang enak."
"Ho'oh, 5 menit. Nyopirmu ugal-ugalan ngono kui, kok." balasnya, emosi.
Gue membalas pelan, "Demi The Raid 2, Bid. Nggak pengin duduk depan sendiri, kan? Rugi lho, Bid."
"Betul juga. Nonton ndangak kui ra penak tenan."
Sadar, misi belum selesai. Kami pun berlari ke studio XXI. Serius. Kami berlari.
Dari parkiran, kami berlari bagaikan atlet lari. Bedanya,
atlet berlari demi mengharumkan nama
bangsanya. Kami berlari demi mendapatkan tiket The Raid 2. Sungguh, perbedaan
yang jomplang sekali.
Saat lagi naik ke jalanan yang cukup sempit menuju pintu
belakang Solo Square, ada mobil barang berjalan mundur ke arah kami.
“Awas, Bid.”
Kami lalu menempelkan diri ke dinding, menghindari
mobil tadi.
Entah sopirnya lagi ngantuk atau abis minum oplosan, setirannya
hampir membuat mobil itu mengenai badan kami.
“What the…”
bilang gue, kaget ada mobil mau menyet badan kami.
Kami lalu berusaha mengubah badan kami seperti lidi
agar nggak gempeng.
“Woi, Dy.” Di sela-sela kejadian itu, sempat-sempatnya
Abid memanggil. “Kita emang mau nonton The Raid, tapi ra sah ngubah uripku koyo The Raid!”
Gue cuma diam, bingung mau ngerespon apa di tengah-tengah kejadian yang aneh itu.
Jam menunjukkan pukul 12.44
Selamat dari serangan mobil, kami langsung melanjutkan
misi ke XXI.
Sampai disana, kami berjalan ke mbak-mbak penjual
tiket.
“The Raid 2, mbak.” kata gue, ngos-ngosan gara-gara lari.
Mbak-mbak bermake up tebal itu lalu menunjukkan layar
tempat duduk. Serentak, kami menengok ke layar.
“Oi, Bid…”
“Ternyata, The Raid 2-nya masih sepi, hehe.” sambung gue,
polos.
Abid menatap tajam penuh dendam, “Asem tenan koe, Dy.”
Kami lalu membayar dan segera masuk ke studio.
Di studio, kami berdua menikmati setiap adegan dari The Raid. Jelas, nonton film nggak pernah seribet ini sebelumnya.
Akan saya tutup dengan mempromosikan jualan online saya, Arsenio Store ID. Tempat menjual Apparel seperti Sweater, Hoodie, dan Celana yang simple dan minimalis. Cocok untuk traveling dan nongkrong.
Untuk melihat produknya, bisa kunjungi Instagramnya, di @arsenio.store.id, dan Tokopedianya, Arsenio Apparel Store.
Instagram: @arsenio.store.id
Tokopedia: Arsenio Apparel Store
- short description about the writer-
I talk & write about movies and pop culture
Twitter: @aldypradana17
Instagram: @aldy_pradana17
KaryaKarsa: @aldypradana17
FB Page: Aldy Pradana
Tokopedia: Arsenio Apparel Store ——— Instagram: @arsenio.store.id
11 komentar
Hahaha.. Lu rempong banget ngeliatin penonton di sekitar. Ya udah jelas aneh2 tingkah penonton. Yg cowok alay itu kayaknya biar terlihat "laki" di depan ceweknya. Nah yang adegan duduk di atas itu, apalagi kalo bukan kemochi.. :D
ReplyApa itu Kemochi? :O
Replykonyol tuh si cowok alay, bukannya terlihat keren malah jadi norak XD
Replysetuju bingits X)
ReplySetiap orang pengalamannya beda-beda donk....
ReplyPastinya. Postingan ini adalah pengalaman saya, kalo pengalaman kamu apa? *kepo*
ReplyHahahah Lucu banget Postingannya .
ReplyMakasih, hehehehe :D
Replyterimakasih informasinya gan,,sangat bermanfaat sekli gan..
Replykalau pengalaman gue :
ReplyWaktu itu gue lagi asik nonton film di bioskop (lupa film apa). saat film sudah mulai sekitar 15 menit dan gue lagi seru2nya nonton, tiba2 ada bapak2 baru masuk ke dala bioskop dan langsung menuju ke gue. Dia bilang "ini kursi G10 kan, ini tempat duduk saya" katanya sabil nunjukin tiket dengan no kursi G10. Buset!! kaget banget gue.. apa gue salah duduk, gue liat kursinya emang bener G10.. kemudian gue liat tiket gue G10 juga.. gue pikir gue ga salah.. tapi kok bisa samaan sama tuh bapak2.. gue coba tenang dan minta lihat tiket si bapak2 sekali lagi.. gue perhatiin bener2 ternyata kursinya emang G10 tapi studionya studio 5 dan kami lagi ada di studio 2.. langsung aja gue bilang "tiket bapak studio 5, ini studio 2 pak." saking malunya tuh bapak2 langsung nyelonong aja pergi..
ah..!! gara2 tuh bapak2 gue ketinggalan beberapa menit filmya..!!
Pesan moral: sebelum masuk studio bioskop, cek lagi tiketnya. Atau bakal kayak bapak-bapak di cerita ini tuh
ReplyPosting Komentar