Kalau kukatakan padamu untuk pergi, percayalah itu bukan kata yang
keluar dari lidahku ini. Aku tidak pernah memintamu meninggalkan anak-anak
rindu kita di sini, di sampingku, jauh dari gapaianmu. Aku ingin kita
membesarkan mereka bersama-sama, setiap pagi, setiap senja, kita menyusuinya
dengan susu kata-kata. Yang biasanya mengalir begitu saja dari mulutmu.
Mulutku. Mulut kita.
Tak ada yang bisa mengalihkan ingatku pada bisik katamu di telingaku
sore itu. Katamu kau akan segera pulang, segera setelah hujan menjadi terang,
dan burung senja kembali terbang. Kau bilang tak akan lama. Karena katamu tak
ada yang lebih menyenangkan selain memeluk rindu-rindu kita yang kian lucu
saja.
Lucu. Karena toh mereka terus menangis menanyakan kapan kau pulang.
Kujawab: “Ibu sedang menari di bawah bulan. Tapi sekarang hujan. Tak ada bulan.
Barangkali sekarang ibu selingkuh dengan hujan”.
Lucu. Karena aku sudah bercerita tentang perselingkuhan pada anak-anak
kita yang bahkan belum pernah mendengar tentang kesetiaan. Lucu. Karena hujan
telah berkali-kali mengetuk atap rumah kita dan berkali pula reda. Burung senja
yang kau janjikan pun sudah tak nampak lagi, barangkali sudah kehabisan senja
untuk diterbangi.
Tapi kepulanganmu tak pernah tercipta. Aku tak tahu bagaimana kau lupa
cara merindukanku. Atau bagaimana kau membiarkanku sendiri merawat anak-anak
rindu kita yang baru belajar berdiri. Dengar. Mereka menangis menanyakan di
mana kau berada setelah bulan yang kau selingkuhi berkali-kali pergi dan
berganti matahari.
***
“Tak banyak yang menanyakan kau kembali.”
“Termasuk kau?”
“Tidak.”
“Ah, masak,”
“Betul,”
Kutemui kau di bawah pesta bulan musim hujan. Bulan sedang
cantik-cantiknya. Bibirnya bergincu tebal menguncup bagai kelopak mawar.
Matanya sayu merayu dan menggoda penyair-penyair hidung belang untuk datang dan
singgah di bawah selangkangnya. Bulan melayani mereka satu-satu. Melumat dan
melambung. Menggoyang dan menggulung. Menghempas tanpa ampun, jauh tinggi
menuju bintang dan rasi-rasi. Hingga ejakulasi yang menyemburkan beribu puisi.
Di sana ada kau. Bergincu. Sayu. Dan merayu penyair hidung belang. Tapi
kau bukan bulan. Jadi kutarik kau
pulang.
“Aku tidak mau,” tolakmu.
“Tak ada yang memintamu mau. Ini harus.”
“Di sini indah.”
“Ya. Tapi bukan rumahmu.”
“Sekarang rumahku.”
“Ayo.”
“Tidak.”
Kau berlari dan meninggalkan jejak kaki di rumputan. Jejak itu melebar
menjadi lubang-lubang semak belukar. Aku melompat dan kakiku melahap duri-duri
yang tengah mekar. Kukejar pontang-panting dan kau menghindar. Kutubruk kau
dari belakang dan kita bergulingan. Kuatasi kau dengan sedikit dorongan dan
kutindih kau sekarang.
“Kita pulang.”
“Tidak. Di rumah tak ada bulan.”
“Aku akan membuatkannya untukmu. Lewat puisi-puisiku.”
“Puisimu tak akan menggantikan bulan.”
“Puisiku adalah bulan yang tak pernah tenggelam”
Kau menggeram lalu memberi sedikit dorongan manis yang menyentakku
terlempar dari tubuhmu. Kau berlari dan itu penyair yang sajaknya dimuat koran
kota minggu lalu. Kau merangkulnya seolah tahu. Satu dari banyak cara untuk
membunuhku.
“Kau lacur.”
“Aku realistis.”
“Absurd.”
“Aku realistis.”
“Lho, aku kan juga barang nyata.”
“Tapi tidak realistis.”
“Ingat, anak-anak…”
“Sudah kubunuh. Separuhnya. Yang masih kubawa. Sisanya ada di kau.
Terserah kau apakan saja.”
“Itu rindu-rindu kita! Aku membesarkannya demi menanti kau saja.”
“Tapi mereka tidak realistis.”
“Pergi.”
“Memang sudah.”
“Jangan kembali.”
“Memang sudah.”
Aku meninggalkanmu di tengah pesta bulan yang makin jalang. Kau dan
belaian penyair yang sajaknya dimuat koran kota minggu lalu itu. Anak-anak
menyambutku. Mereka berlarian. Rambut ikalnya beterbangan ditiup malam.
“Ibu mana?”
“Ibu sedang menari di bawah bulan. Takluk dalam belaian penyair
honoran.”
“Katanya pulang?”
“Tidak. Katanya ibu akan lama.”
“Kita tunggu saja di sini.”
“Tidak. Tak semua lama bisa dinanti.”
Lucu. Karena aku telah bercerita pada anak-anak tentang mengakhiri
bahkan ketika mereka baru belajar untuk menanti. Lucu. Karena aku bahkan
berpikir untuk menyalahkan bulan. Menyalahkanmu. Menyalahkan koran yang
menerbitkan sajak penyair itu.
Lucu. Karena tiba-tiba hujan datang. Menutup langit dengan
gumpalan-gumpalan hitam yang bertumpukan. Bulan kalang kabut. Sisa-sisa
sinarnya berlarian ke balik pohonan. Penyair-penyair hidung belang dari
berbagai koran pontang panting mencari teduhan. Sedang kau berdiri mematung
saja. Menatap mendung yang membuat bulanmu tiada. Menantang. Mungkin kau
bermaksud merayu hujan itu, seperti yang kau lakukan dulu. Tapi ketika hujan
itu datang, kau berteriak kesakitan. Hujan itu melahap tubuhmu perlahan.
Mencabik pakaian dan teriakanmu dengan garang. Di tengah geleparmu kau
memanggilku dan meminta pulang.
“Tidak ada pulang.” kataku. “Di rumah tak ada bulan.”
Hujan mulai membuat lubang-lubang kecil di tubuhmu. Kau mengerang dan
tubuhmu mulai menghilang. Melumer. Menjadi gumpalan-gumpalan daging encer.
Menjelang meleleh, kau merayu hujan itu dengan sisa gincu dan senyum
terakhirmu. Hujan pun menjawab. Dengan sebuah dorongan manis. Mengumpulkan
lelehan-lelehan tubuhmu. Melesapkanmu ke dalam tanah kepulanganmu.
Di bawah sana tak ada bulan. Tapi kau harus pulang.
***
Penulis: Muhammad Abid Mukhlisin
Akan saya tutup dengan mempromosikan jualan online saya, Arsenio Store ID. Tempat menjual Apparel seperti Sweater, Hoodie, dan Celana yang simple dan minimalis. Cocok untuk traveling dan nongkrong.
Untuk melihat produknya, bisa kunjungi Instagramnya, di @arsenio.store.id, dan Tokopedianya, Arsenio Apparel Store.
Instagram: @arsenio.store.id
Tokopedia: Arsenio Apparel Store
- short description about the writer-
I talk & write about movies and pop culture
Twitter: @aldypradana17
Instagram: @aldy_pradana17
KaryaKarsa: @aldypradana17
FB Page: Aldy Pradana
Tokopedia: Arsenio Apparel Store ——— Instagram: @arsenio.store.id
2 komentar
kayaknya pernah baca, dibikin jaman smp bukan sih di? :|
Replyapa iya? Bukan tulisan baru ya? Ga tau aku malahan. :/
ReplyPosting Komentar